Jumat, 28 Oktober 2016

PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN



Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagaman pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keberagamaan pada seorang anak. Kemudian melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.
A.    PENDIDIKAN KELUARGA
            Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961:78).

            Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan (W.H. Clark, 1964:2). Di sini terlihat adanya dua aspek yang kontradiktif. Di suatu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa daya,sedangkan di pihak lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif). Tetapi menurut Walter Housten Clark, perkembangan bayi tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi dalam  pertumbuhan dan perkembanganya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W .H. Clark:2). Pendapat ini menunjukan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, bayi akan kehilangan kemampuan untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainya.

Dua ahli psikologi anak Perancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok serigala di sebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan  yang seaharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak.

Tak seorang pun diantara keduanya yang mampu mengucapkan kata-kata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak, dan makan dengan cara menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala tersebut tak dapat menyesuaikan diri, akhirnya mati.

Kejadian yang hampir serupa juga pernah dijumpai di India. Anak lelaki asuhan serigala tersebut dijumpai setelah berusia sekitar 14 tahun. Ternyata kehidupan ala serigala telah mempengaruhi sikap, perilaku maupun kemampuan inderawinya. Gigi serinya juga agak tajam menyerupai taring, penciumanya lebih tajam, lidahnya selalu menjulur dan berjalan merangkak, serta sanggup bertahan terhadap cuaca tanpa busana.

Anak laki-laki ini kemudian diberi nama Manu. Ia dikembalikan ke lingkungan manusia untuk dibimbing dan dididik agar dapat hidup seperti manusia normal. Ternyata pengaruh lingkungan dan pemeliharaan serigala yang sudah demikian lamanya itu telah melekat menjadi sifat dan kebiasaan Manu. Sulit bagi dirinya untuk mengingat dan melafadzkan kosa kata yang diajarkan kepadanya. Kalaupun dapat waktu yang digunakan cukup lama. Perkembangan kemampuan intelegensinya sangat rendah, sehingga Manu mengalami sejumlah hambatan untuk dapat hidup kembali sebagai manusia normal. Akhirnya, Manu pun menagalami nasib yang sama seperti anak asuhan serigala lainya. Setelah beberapa tahun dalam pemeliharaan dan pengawasan manusia, Manu meninggal.

Contoh di atas menunjukan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak. Meski pun Manu seorang bayi manusia yang dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Bahkan menurut W.H. Clark, para psikologi umunya berpendapat, bayi yang baru lahir keadaanya lebih mendekati binatang ketimbang keadaan manusia. Malahan anak kera yang tumbuh dengan baik dalam hal-hal tertentu lebih banyak memperlihatkan sifat-sifat yang lebih menyerupai sifat manusia dibandingkan dengan bayi manusia yang baru lahir, jika bayi manusia itu semata-mata dilihat dari segi bentuk tubuhnya, dan bukan dilihat dari esensinya. (W.H. Clark:3)

Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan  secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh, sehingga ia tidak mungkin berkembang dan bertumbuh secara instinktif sepenuhnya. Makanya, menurut W.H. Clark, bayi memerlukan prersyaratan-persyaratan tertentu dan pengawasan serta pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalm pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan di masa datang (W.H. Clark:2).

Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugrerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diindetifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang (W.H Clark:4). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak mengherankan jika Rosul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.

Menurut Rosulullah SAW., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka.

B.       PENDIDIKAN KELEMBAGAAN
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umunya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkunganya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.

Kemampuan untuk menguasai cara bertani, menagkap ikan ataupun berburu binatang sesuai dengan lingkunganya diperoleh anak melalui bimbingan orang tua dan masyarakat. Dan karena kehidupan masyarakat bersifat homogeny, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang diwariskan secara turun-menurun tidak berkembang. Oleh karena itu lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Sebaliknya di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin di pertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).

Selain itu sejalan dengan fungsi dan peranya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menetukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaiknya para orang tua lain lebih mengarahkan  anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
            Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young,walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaludin dan Ramayulis,1993:38), barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari, maupun vihara. Pendidikan keagamaan sangat mempengaruhi tingkah laku keagamaan, tulis Young.
             Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
            Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam (M.Buchari,1982:115). Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama dengan cara pengulangan, dan kedua dengan disengaja dan direncanakan (M.Buchori:116). Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan disekolah (lembaga pendidikan).
            Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
            Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melaui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaludin Ancok:40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatiaan peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang meungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
            Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikannya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hapalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.


C.  PENDIDIKAN DI MASYARAKAT

Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral dan spiritual (M. Buchori:155). Makanya menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1.    Fakta-fakta asuhan
2.    Alat-alatnya
3.    Regularitas
4.    Perlindungan
5.    Unsur waktu
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori:156)
Selanjutnya karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain (M.Buchori:157)
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai  kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolana. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok:27). Dan kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil dilingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.

Di sini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakar terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar