Jumat, 28 Oktober 2016

PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN



Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagaman pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keberagamaan pada seorang anak. Kemudian melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.
A.    PENDIDIKAN KELUARGA
            Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961:78).

            Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan (W.H. Clark, 1964:2). Di sini terlihat adanya dua aspek yang kontradiktif. Di suatu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa daya,sedangkan di pihak lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif). Tetapi menurut Walter Housten Clark, perkembangan bayi tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi dalam  pertumbuhan dan perkembanganya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W .H. Clark:2). Pendapat ini menunjukan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, bayi akan kehilangan kemampuan untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainya.

Dua ahli psikologi anak Perancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok serigala di sebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan  yang seaharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak.

Tak seorang pun diantara keduanya yang mampu mengucapkan kata-kata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak, dan makan dengan cara menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala tersebut tak dapat menyesuaikan diri, akhirnya mati.

Kejadian yang hampir serupa juga pernah dijumpai di India. Anak lelaki asuhan serigala tersebut dijumpai setelah berusia sekitar 14 tahun. Ternyata kehidupan ala serigala telah mempengaruhi sikap, perilaku maupun kemampuan inderawinya. Gigi serinya juga agak tajam menyerupai taring, penciumanya lebih tajam, lidahnya selalu menjulur dan berjalan merangkak, serta sanggup bertahan terhadap cuaca tanpa busana.

Anak laki-laki ini kemudian diberi nama Manu. Ia dikembalikan ke lingkungan manusia untuk dibimbing dan dididik agar dapat hidup seperti manusia normal. Ternyata pengaruh lingkungan dan pemeliharaan serigala yang sudah demikian lamanya itu telah melekat menjadi sifat dan kebiasaan Manu. Sulit bagi dirinya untuk mengingat dan melafadzkan kosa kata yang diajarkan kepadanya. Kalaupun dapat waktu yang digunakan cukup lama. Perkembangan kemampuan intelegensinya sangat rendah, sehingga Manu mengalami sejumlah hambatan untuk dapat hidup kembali sebagai manusia normal. Akhirnya, Manu pun menagalami nasib yang sama seperti anak asuhan serigala lainya. Setelah beberapa tahun dalam pemeliharaan dan pengawasan manusia, Manu meninggal.

Contoh di atas menunjukan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak. Meski pun Manu seorang bayi manusia yang dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Bahkan menurut W.H. Clark, para psikologi umunya berpendapat, bayi yang baru lahir keadaanya lebih mendekati binatang ketimbang keadaan manusia. Malahan anak kera yang tumbuh dengan baik dalam hal-hal tertentu lebih banyak memperlihatkan sifat-sifat yang lebih menyerupai sifat manusia dibandingkan dengan bayi manusia yang baru lahir, jika bayi manusia itu semata-mata dilihat dari segi bentuk tubuhnya, dan bukan dilihat dari esensinya. (W.H. Clark:3)

Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan  secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh, sehingga ia tidak mungkin berkembang dan bertumbuh secara instinktif sepenuhnya. Makanya, menurut W.H. Clark, bayi memerlukan prersyaratan-persyaratan tertentu dan pengawasan serta pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalm pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan di masa datang (W.H. Clark:2).

Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugrerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diindetifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang (W.H Clark:4). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak mengherankan jika Rosul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.

Menurut Rosulullah SAW., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka.

B.       PENDIDIKAN KELEMBAGAAN
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umunya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkunganya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.

Kemampuan untuk menguasai cara bertani, menagkap ikan ataupun berburu binatang sesuai dengan lingkunganya diperoleh anak melalui bimbingan orang tua dan masyarakat. Dan karena kehidupan masyarakat bersifat homogeny, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang diwariskan secara turun-menurun tidak berkembang. Oleh karena itu lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Sebaliknya di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin di pertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).

Selain itu sejalan dengan fungsi dan peranya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menetukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaiknya para orang tua lain lebih mengarahkan  anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
            Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young,walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaludin dan Ramayulis,1993:38), barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari, maupun vihara. Pendidikan keagamaan sangat mempengaruhi tingkah laku keagamaan, tulis Young.
             Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
            Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam (M.Buchari,1982:115). Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama dengan cara pengulangan, dan kedua dengan disengaja dan direncanakan (M.Buchori:116). Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan disekolah (lembaga pendidikan).
            Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
            Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melaui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaludin Ancok:40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatiaan peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang meungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
            Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikannya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hapalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.


C.  PENDIDIKAN DI MASYARAKAT

Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral dan spiritual (M. Buchori:155). Makanya menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1.    Fakta-fakta asuhan
2.    Alat-alatnya
3.    Regularitas
4.    Perlindungan
5.    Unsur waktu
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori:156)
Selanjutnya karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain (M.Buchori:157)
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai  kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolana. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok:27). Dan kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil dilingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.

Di sini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakar terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.

Kesadaran Beragama


Orang dewasa yang sudah berumur 5 tahun belum tentu memiliki kesdaran beragama yang mantab,bahkan mungkin kepribadianya masih belum dewasa atau masih (immature),ada pula remaja yanng berumur di bawah 23 tahun telah memiliki kesdaran beragama yang cukup dewasa,tercapainya kematangan kesdaran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan,kematangan alam perasaan,kehidupan motivasi pengalaman hidu,dan keadaan lingkungan sosial budaya.
1.Kesadaran Beragama
                Pengertian kesdaran beragama dalam tulisan inin meliputi rasa keagamaan,pengalaman ke tuhanan,keimanan,sikap dan tingkah laku keagamaan,yang teroganisasi dala sistem mental dari kepribadian.karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia,maka kesdaran beragama pun mencakup aspek aspek afektif,konotatif,kognitif dan motorik,sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan,pengambaran tentang kemantapan kesdaran beragama tidak dapat terlepas dari kriteria kematangan kepribadian,seseorang yg tidak beragama(atheis)mungkin saja memiliki kepribadian yang matang walauoaun ia tidak memiliki kesdaran beragama
Gordon W.Allport (1962) mengemukakakn 3 ciri kepribadian yang matang
                A.berkembangnya kebutuhan bersosial psikologis,rohaniah dan arah minat yang menuju pada pemuasan ideal dan nilai – nilai  sosial  budaya melampaui kebutuhan bilogis atau hawa nafsu,sebaliknya orang yg tidak mapu mengendalikan dorongan bilogisnya atau tingkah lakunya dikendalika n oleh hawa nafsu nya menunujukan kepribadian yg masih kanak kanak,kerpibadian yg matang tidak lagi bersifat egosentris
                B.kemampuan mengadakan intropeksi,merefleksikan diri sendiri memandang diri sendiri secara objektif dan kemampuan untuk mendapat kan pemahaman tentang hidup dan kehidupan,dengan pemahamamn terhadap diri sendiri sebagaiamanaorang lain mengenalnya,individu akan mampu menempatkan dirinya dalam hubungan dengan orang lain,masyrakat dan alam semesta
                C.keprbadian yang matang selalu memiliki filsafata hidup yang utuh walaupun mungkin bukan berasal dari filsafat agam atau kurag terolah dalam bentuk bahasa,walaupun setiap kepribadian yang matang belum tentu memilliki pandangan hidup keagamaan,karena mungkin ia memiliki pandangan hidup keagamaan,karena mungkin ia memiliki pandangan hidup filosof lainya,namun kemantangan kepribadianya tanpa dilandasi agama akan menunjukan kehidupan yg miskin,kuarng bermakna dan mudah goyah.
Carl Gustav Yung(1875-1961) seorang ahli psikologi menyimpulkan pegalamanya sebagai berikut:
                Pada 30 tahun terakhir ini,banyak orang yg meminta kepada say,dari negara maju untuk meneliti sebab sebab timbulnya penyakit jiwa.tenyata pangkal persoalan dari para penderita penyakit tersebut yg telah melewati separuh dari kehidupan mereka,yaitu setalah berumur 35 tahun tahn tidak lain adalah karena hati mereka tertutup dari doktrin agama.merupakan hal yg dapat mungkin dikatakan bahwa penyakit mereka tidak lain karena mereka kehilangan sesuatu yang telah di berikan ole agama kepada orang yg memepercayainya pada setiap mas.tidak ada seoang pun di antara mereka itu yang sembuh melainkan mereka kembali pada konsepsi keagamaan.
2.Kesadaran Beragama pada Masa Anak-Anak
                Pada waktu lahir,anak belum beragama.ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama.selaras dengan perkembangan kepribadianya,kesadaran beragam seseorang juga menunjukan adanya kontinutias atau berlanjut dan tidak terputus walaupun pekembangan kesadaran beragama itu berlanjut namun,setiap fase perkembangan menunujukan adanya ciri-ciri tertentu.ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak.
                a.Pengalaman Ke-tuhanan yang lebih bersifat afektif,emosional dan egosentris
ubungan emosional yang di warnai kasih sayang dan kemeseraan antara orantua dan anak anak meinmbulkan proses identifikasi,yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orangtua.si anak menghayati tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yg bersifat egosentris,jika si anak di suruh berdoa ia akan memohon kepada tuhan unutuk di beri mainan,permen,kue,buah buahan  atau alat pemuas kebuthan  bilogis lainya yang bersifat kongkret dan segera,tuhan adalah pengasih,penyayang,pelindung,pemberi rasa aman,tentram dan pemuas kebutuhan alam perasaan lainya.untuk itu orang tua harus bersikap sebagai pengasih,penyayayang,pelindung dan pemuas kebutuhan emosional anak.
                b.Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realisitik
keimana  kepada tuhan belu merupaka m suatu keyakinan sebagai hasil hasil pemikiran yg objektif,akan tetapi lebih merupakan bagian dri kehudpan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang,rasa aman dan kenikmatan jasmaniah,tuha  di hayati secara kongkret sebagai pelindung pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib,semacam tongkat Nabi Musa atau cicin Nabi sulaiman untuk menjadi alat bagi pemenuh pemuasan kebutuhan dan keinignanya yang bersifat egosentris dan segera.dengan bertambah nya umur,peikirian yang bersifat tradisonal kongkret beralih pad nilai wujud atau eksistensi hasil pengamatan,tuhan  bukan hhaya pencipta dirinya,tetapi tuha  juga adalah pencipta alam semesta yang melimpahkan rahmat nya bagi seluruh mahluk rahmat tuhan yang di berikan kepadanya hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari kasih sayanga tuhan yang tak terbatas.kepercayaan pada hantu,azimat,benda keramat yang memiliki kekuatan adalah sejalan dengan fungsi kognitifnya yg mempersepsikan segala sesuatu sebagai bernyawa dan dinamis.
                c.peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
pada usia  12 tahun pertama merupakan tahu tahun sosialisai,di siplin,dan tumbuhnya kesdaran  moral.tuhan bukan hanya sebagai pemberi kepuasan emosional, teatapi juga hakim yg maha adil sebagai keharusan dalam kehidupan bermoral.tuham akan selalu mengawasi dan mengetahui segala sikap dan perilakunya.serta akan meberikan pertolongan dan ganjaran apanbila ia berbuat kebaikan.Penigkatan rasa ketuhana dalamhubungan emosional yang di perkuat dengan ikatan moral akan dapat menumbuhakan penilaian,bahwa kebaikan tertinggi adalah mengikuti perintah allah,dan meninggal kan larangan nya.
3.Kesadaran beragama
                Selaras dengan jiwa remaja  yg berada dalam transisi dari mas anak anak menuju ke dewasaan,maka kesdaran beragama pada masa remaja berda dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragam anak anak menuju kemantapan beragama.di samping itu remaja,mulai menemukan peglaman dan pennghayatan ketuhanann yang bersifat individual dan sukar di gambr kan ke pada orang lain seperti dalam perdebatan.keimamananya mulai otononm,hubungan dengan tuhan makin di setai kesdaran dan kegiatanya dlama bermasyarakat main di warnai oleh rasa keagamaan.
a.       Pengalaman ketuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya.iya menemuka dirinya buka nhn ya skedra abadan jamaniah,tetapi merupakan sesuatu kehidupan sikologis rohaniah berupa pribadi.remaja bersifat kritsi terhadap dirinya sendiri dan segaka sesuatu yg menjadi milik pribadinya pennghayatan penemuandiri pribadi ino dinamakan indviduasi,yaitu adanya garis pemisah yg tegas dan bukan diri sendir,anatar aku dan bukan aku,antar subjek dan dunia sekitar.si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yg mampu menampuka keluhan keluhan nya melindungi,membimbing,mendorong dan mebberi peetunjuk jalan yg dapa mengembankan kepribadianya.
Keadaan labil yg menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pengangan hidup.si remaja berpaling kepada tuhan sebagai satu satunya pegangan hidup,pelindung,dan penunjuk jalan dalam dkegoncangan sikologis yg di alamainya.
b.Keimanannya  makin menuju rellitas sebenarnya
si remaj mulai mngerti bahwa kehidupan tidak hanya seperti di jumpainya secara kongkret,tetapi mempunya makina lebih dalam.ia mulai memiliki pengertian yg di perlukan untuk menangkap dan mengolah dunia rohniah.ia melihat adanya bermacam macam filsafat dan pandangan hidup.dengan berkembangnya kemmapuan berfikir secara abstrak,si remaja mampu pula menerima dan ajaran agama yg berhubungan dengan masalah gaib,abstrak dan rohaniah,seperti kehiduoan alam kubur,hari kebangkitan,surga,neraka,bidadari,malaikat,jin,setan,dan sebagainya
c.peribadatan mulai disertai penhayatan yg tulus agam a

agam adalah pegalaman dan penghayatan dunia dalam seroran tentang ketuhanan di sertai keimanan dan peribadatan.pengalamna ini besifat subjektif yg sukar di terangkan kepada orang lain.agam bukan lah sekedara kumpulan filsafat tentang dunia lain tapin agama harus di sertai tindakan kongkret.perpecahan dan kegoncangan kepribadian yg di alam remaja terlihat pula lapangan peribadatan.si remaja dapat menjadi seorang yang kelihatan paling beragama dengan melakukan ibdadah yg intensif,seperti berpuasa berhari hari,membaca alquran berjam jam atau berdoa setiap malam jadi sering terlihat kesibukan beribadah yang berlebihan yg mudah berubah yang menjadi sikap acuh tak acuh terhadap ibadah.kesadaran  atau norma norma agama berarti si remaja menghayati,menginternalisasikan dan mengintegerasikan norma tersebut ke dalam diri pribadinya sehingga menjadi bagian dari hati nurani dan keprinbadianya.

Asensi agama adalah pengalaman kehadiran tuhan,kekuatan yg tertinggi .pada masa remaja di mulai pembentukan dan perkembangan suatu sisitem moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yg individual.ia pun akan menemukan prinsip dan norma pegangan hidup,hati nurani,serta makna dan tujuan hidupnya.

4.kesdaran beragama
Dalam perkembangan jiwa seseorang,penglaman kehidupan beragama sedikitb demi sedikit makin mantab sebagai suatu yunit yg otonom dalam kepribadianya.emosi berfungsi melandasi dan mewarnainya,sedangkan intelegensi yg mengorganisasi dan mempolakanya.kesdaran beragama merupaka dasar dan arah dari kesiapan seserorang mengadakan tanggapan,reaksi,pengolahan dan pnyesuaian diri terhadap ransangan yg datang dari dunia luar.seseorang yang memiliki kesdaran beragama yang telah matab masih merasakan bahwa kehidupan beragamanya belum sesuai dengan yang di cita cita kan.kehidupan beragama yang di idealkan selalu ada di depan kesdaran beragama,yang mampu di realisasikan dalam  perbuatan sehari hari.makin mantab kesdaran beraqgamanya jurang pemisah antara realisasi praktisdengan konsepsi idealnya semakin dekat.



konversi dan Penyimpangan

Bab 14 : Tingkah laku keagamaan yang menyimpang
                Dalam kehidupan social dikenal bentuk tata aturan yang disebut norma. Norma dalam kehidupan social merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah laku social. Jika tingkah laku yang diperlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima. Sebaliknya jika tingkah laku tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku dimaksud buruk dan di tolak.
            Tingkah laku yang menyalahi norma yang berikut ini disebut tingkah laku yang menyimpang. Penyimpanan tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat. Kasus-kasus penyimpangan tingkah laku seperti itu tak jarang pula berlaku pada kehidupan manusia sebagai individu ataupun kehidupan sebagai Kelompok masyarakat.Dan dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang demikian itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang.
            Prof.Dr.KasmiranWuryo membag inormasi sebagai tolak ukur tingkah laku dlihat dari penduduknya, menjadi beberap amacam, antara lain: normapribadi, normagrup (kelompok), noema masyarakat, norma susila dansebagainya (Kasmiran Wuryo,1983:46-47). Dengan demikian norma keagamaan merupakan salah-satu bentuk norma yang menjadi tolak ukur tingkah laku keagamaan seseorang, Kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama. Mengingat pembentukan norma melalui proses yang cukup panjang, bagaiman pansulit untuk mengetahui secara tepat sumber nilai-nilai luhur yang sebenarnya dari suatu norma yang berlaku dimasyarakat. Tapi menurut kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat digolongan menjadi dua jenis, yaitu, tradisional dan norma formal.(Kasmiran:48).
Tradisi merupakan norma yang proses perkembangannya berlangsung secara otomatis dan nilai-nilai yang membentuknya berasal dari bawah. Karena proses perkembangannya cukup lama sehingga sering tidak di ketahui lagi sumber tentang  alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan terkadang dibela secara fanatic, sehingga orang menjadi takut jika tidak melakukannya.Norma yang dalam tradisi seperti ini menurut KasmiranWuryo, tidak lagi bersifa trasional melainkan sudah bersifat tradisional dogmatic dan supernatural.
            Sedangkan bentuk kedua adalah norma formal. Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai ketentuan formil yang berlaku di masyarakat.Sumbernya dapat berupa undang-undang, peraturan maupun kebijaksanaan formil dari pengusaha masyarakat yang materinya berupa norma yang dijadikan tolak ukur salah benarn yatingkah laku dalam kehidupan masyarakat (Kasmiran :47-48).
            Mengacupa dapernyataan tersebut, terlihat bahwa baik norma teradisonl maupun norma formal bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolak ukur tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut.Karena itu dalam kondisi yang bagimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari norma-morma yang berlaku.
         ALIRAN KLENIK
Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenikinieratkaitanyadenganpraktekperdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya kepada kekuatan gaib.Bagi penganut agama masalah yang berkaitan masalah yang berkaitan denganhal-hal gaib ini umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional.Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentu nya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emosional dan cenderung berada diluar jangkauan nalar.karena itu tak jarang di manipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih di terima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sacral keagamaan ini dalam kehidupan masyarakat sering pula di turunkan kepribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang di anggap memiliki kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib. Ksus-kasus seperti ini sering terjadi di masyarakat.Di tanah air, kasus Cut Zahara Fauna yang cepat mencuat secara emosional, sekitar tahun 1970-an, barangkali dapat dijadikan salah satu contoh.
Cut Zahara Fauna ketika itu dipercayai memiliki bayi gaib. Bayi yang masih dalam kandungan nya sudah dapat berbicara.Kasus bayi ajaib ini sangat mengundang masyarakat luas, karena ada bebera papejabat (ketikaitu) yang percaya dan ikut membenarkan.Kepercayaan ini agaknya di kaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, mengingat Cut Zahara Fauna yang kelahiran di aceh diidentikkan dengan aceh sebagai serambi mekkah.Untungnya k asus ini cepat terbongkar, sehingga belum menarik Kelompok masyarakat menjadi pengikutnya.
Kasus-kasus seperti mbah suro, dukun ajaib dan aliran-aliran kebatinan yang menyimpang, senantia satu  mbuh dan berkembang dimasyarakat.Kasus-kasus serupa umumnya selalu dikaitkan dengan agama agar lebih mudah menarik kepercayaan masyarakat.Lebih-lebih lagi agama menyangkut keyakinan manusia yang berkaitan dengan kehidupan batin yang paling dalam.
Penyimpan gantingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik seperti ini menurutRobet H. Thouless dapat di analis ini dengan menggunakan pendekat an psikologi sugesti.Istilah ini digunakan oleh para ahli psikologi untuk proses yang diamati dengan berbagai eksperimen mdengan hipnotisme. Dalam analisisnya, Robert H Tholess mencontoh kan bagaimana tukang hipnotis meyakinkan seseorang melalui presepsi yang diciptakannya.
Sugesti, kata tholess, bisa juga merupakan penampilan beberapa perbuatan, pengembangan atau penyembuhan sebagai penyakit jasmani, pengakuhan atau penolakan terhadap beberapa jenis keyakinan, namun dalam sugesti yang berhasil, gagasan yang disugstikan oleh seorang hipnotis bagi orang yang bersangkutan sudah berubah menjadi presepsi, perbuatan atau keyakinan(Robert H. Thouless:1992:38-39).
Psikologi agama yang memplaari hubungan sikap dan ingkah laku manusia dalam kaitan dngan agama, agaknya dapat mlihat penyipangan tingkah laku keagamaan sebagai bagian dari gejala kejiwaan. Sbab sbagai kata Thoulss slelanjutnya, sugesti dapat pula dijadikan alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan keagamaan (Robret houles:39)
Dalam kenyataannya di masyarakat praktek yang bersifat klnik memiliki karakteristik yang hamper sama, yaitu :
1)      Pelaunya menokohkan diri selalu orang suci dan umumnya tiak mempunyai latar belakang yang jelas(asing)
2)      Mendakwakan diri memiliki kemampuan yang luar biasa dalam maslah yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
3)      Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik keprcayaan masyarakat.
4)      Kebenaran agamanya tidak dapat di buktikan secara rasional.
5)      Memiliki tujua tertentu yang cendrung merugikan masyarakat.
Suburnya  praktek ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam kepada agama namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi. Kondisi ini mengkondisikan masyarakat  memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (highly suggestible), sehingga lebih respektif (mudah menrima) gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama. Sebaliknya tokoh klenik umumnya memiliki kempuan untuk member sugesti.
Sugesti sebagai proses komunikasi yang menyebabkan diterimanya dan di sadarinya suatu gagasan yang dikomunikasikan tanpa alas an-alaan rasional(Thouless:40), tampaknya memang sering di salah gunakan dalam kasus-kasus keagamaan, trauma oleh mereka yang memiliki tujuan-tujuan terentu. Fanatism keagamaan yang tidak dilator belakangi oleh pengetahuan keagamaan yang cukup tanpaknya masih merupaka lahan subur bagi muncul dan berkembangnya aliran klenik ini.
Factor-faktor lain yang juga mendukung timbul dan berkembangnya aliran seprti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yag memiliki kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika mengalami penritaan cenderung akan kehilangan pasangan hidup. Di saat-saat seperti itu pula mereka menjadi sangat sugestibel(mudah menerima sugesti). Oleh karena umumnya dalam keadaan yang putus asa seperti itu, peraktrk kebatinan seperti aliran klenik dianggap dapat menanjikan dan merupakan tempat plarian dan mengatasi kemelut batin mereka.
Aliran klenik sbagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang akan senantiasa muncul dalam masyarakat, apapu latar belakang kpercayaannya. Aliran klenik terkadang  seperti ini terkadang demikian kuatnya mempengaruhi mereka yang mempercayainya, sehingga merka senantiasa menolak pengaruh dari luar, walaupun ber4manfaat. Seperti yang di kemukakan oleh Ricartd Fenn dalam salah-satu kasus perang di Vietnam. Seorang dukun menolak untuk melatih tenaga media militer amerika. Penolakan itu menurut dukun yang bersangkutan didasarkan atas wangsit (semacam bisikan batin) agama yang diantunya. Tapi menurut Fenn, penolakan tersebut lebih bersifat psikologis ketimbang agama(Meredith B. Mc Guire,1984:250).
Perilaku keagamaan yang meyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Dengan demikian mereka membentuk Kelompok yang ekslusif. Dalam kondidi seperti itu mereka sulit untuk didekati. Dan umumnya mereka yang terkait dengan urusan tersebut memiliki keterkitan yang kuat dengan pemimpin. Tak jarang atas anjuran pemimpin, mereka mampu melakukan perbuatan nekad. Kecenderungan seperti ini terkadang dapat menjelma menjadi tindakan Kelompok yang ekstem dan merugikan. Sebab itu, Robert Thoulessmelihat hubungan pemimpin dan para pengikut aliran ini tidak jauh berbeda dengan hipnotis. Para pengikutnya tersugesti, hingga kehilangan kemampuan untuk menggunakan kemampuan nalar sehatnya.
Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berkemabang manjadi aliran-aliran kepercayaan dan aliran kebatinan. Dan menurut Prof.Dr.Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan pikiran lantaran kacaunya ekonomi,social polituk, hingga mendorong masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, masuk ke daerah khayalsn tasawuf. Kadang-kadang merekas menganut agama yang berdiri sendiri, bukan islam, bukan budha, bukan Kristen (Hamka,1976:233-234). Di Indonesia sendiri, menurut H.M.As’ad el Hafidy, hingga tahun 1977, ada 156 jenis aliran kepercayaan dan kebatiinan(H.M.As’ad el Hafidy:1977:108-113).
Memang terlihat agama sebagai bentuk keprcayaan kerapkali di jadikan tempat bernaung bagi aliran-aliran seperti itu. Karena itu para ahli psikologi agama melihat tingkah laku menyimpang dalam kehidupan beragama erat kaitannya dengan pengaruh psikologis.
B. KONVERSI AGAMA
Konverensi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah agama ataupun masuk agama. Untuk memberikan gambaran yang lebih mengena tentang maksu kata-kata tersebut perlu di jelaskan melalui uraian yang dilatarbelakangi oleh pengertian secara etimologis. Dengan pengertian bedasarkan asal kata tergambar ungkapan itu secara jelas.
1.      Pengertian Konversi Agama
a.       Pengertian konverensi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata lain “conversion” yang berati: tobat,pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata inggris Conversion yang mengandung pengertian : berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian : bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk kedalam agama (menjadi paderi)
b.      Pengertian konversi agama menurut terminology. Menurut pengertian ini akan di kemukakan beberapa pendapat tentang
                Pengertian konversi agama antara lain :
1.       Max Herich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.       William James mengatakan konversi agama adalah kata-kata : to be converted, to be regeneracted, to recieve grace, to be experience religion, to gain an assurance, are so many phrases whichdenotes to the process, gradual or sudden, by which a self hither devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes uni fied and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities.

Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu konversi agama yang dimaksudkan uraian di atas memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri :
1)      Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2)      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3)      Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang di anutnya sendiri.
4)      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.


2.. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Konvesi Agama
        Berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan faktor yang menjadi pendorong konversi. William James dalam bukunya The Varietias of Religious Experience dan Max Heirich dalam bukunya Change of Heart banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut.
        Dalam buku tersebut diuraikannya pedapat dari para ahli yang terlibat dalam disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama disebabakan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
1.       Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konersi agama adalah petunjuk Ilahi. Pengaruh supernatural berperanan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
2.       Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain :
a.       Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang kebudayaan yang lain).
b.      Pengaruh kebiasaan yang rutin.
Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga terbiasa, misalnya : menghadiri upacara keagamaan ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik pada lembaga formal, ataupun nonformal.
c.       Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat. Misalnya : karib, keluarga, famili, dan sebagainya.
d.      Pengaruh pemimpin keagamaan.
Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu faktor pendorong konversi agama.
e.      Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f.        Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang dianut oleh Kepala Negara atau Raja mereka ( Cuius regio illius est religio )
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang secara persuasif dan pengaruh yang bersifat koarsif.
3.       Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agam adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari pertolongan ke kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tentram.
Dalam uraian William James yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut :
a.       Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk sesuatu ide yang bersemi secara mantap.
b.      Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses) .
Berdasarkan gejala tersebut maka dengan meminjam istilah yang digunakan Starbuck ia membagi konversi agama menjadi dua tipe :
1)      Tipe Volitional ( perubahan bertahap).
Konversi agama tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu sebagian besar terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
2)      Tipe Self-Surrender ( perubahan drastis).
Konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan ini pun dapat terjadi dari kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dari tidak percaya pada suatu agama kemudian menjadi percaya dan sbagainya. Pada konversi tipe kedua ini William James mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Jadi ada semacam petunjuk ( Hidayah ) dari Tuhan
3)      Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan para psikolog adalah berupa pembebasan diri dari tekanan batin.
Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan dari lingkungan (ekstern).
a.       Faktor intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah :
1)      Kepribadian
Secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Dalam penelitian W. James ia menemukan bahwa tipe melankolis yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
2)      Faktor Pembawaan
Menurut penelitian Guy E. Swanson bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak yang bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
b.      Faktor Ekstern ( faktor luar diri )
Diantara faktor luar yang mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah :
1)      Faktor keluarga, kerekatan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan lainnya.
Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya
2)      Lingkungan tempat tinggal
Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang.
3)      Perubahan status
Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya : Perceraian, ke luar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, kawin dengan orang yang berlainan agama dan sebagainya.
4)      Kemiskinan
Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama. Masyarakat awam yang miskin cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan  kehidupan dunia yang lebih baik. Kebutuhan mendesak akan sandang dan pangan dapat mempengaruhi.

4.       Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
3.. Proses Konversi Agama.
     Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, banguanan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi agama ini. Segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya (agama), maka setelah terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan pula lama ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama seperti : harapan, rasa bahagia, keselamatan, kemantapan berubah mejadi berlawanan arah. Timbulah  gejela-gejala baru berupa : perasaan serba tidak lengkap dan tidak sempurna.  Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk  : merenung, timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan, perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.    
      Perassan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah atau timbul semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya  bila yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
      Sebagai hasil dari pemilihannya terhadap pandangan hidup itu maka bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan dari peraturan ada dalam pandangan hidup yang dipilihya itu berupa ikut berpartisipasi secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup itu akan semakin tinggi pula nilai bakti yang diberikannya.
      M.T.L. Penido berpendapat bahwa konversi agama mengandung 2 unsur :
1.       Unsur dari dalam diri (endogenous origin), yaitu proses perubahan yang terjadi pada diri                                                               seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan sering dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
2.       Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyesalan oleh yang bersangkutan.

       Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk aktiv berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan. Jadi disini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin maka akan terciptalah suatu ketenangan. Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah secara perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan digantikan dengan yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap baik dan benar. Sebagai pertimbangannya akan muncul motivasi baru untuk merealisasi kebenaran itu dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang positif.
       Jika proses konversi itu diteliti dengan seksama maka baik hal itu terjadi oleh unsur luar ataupun unsur dalam ataupun terhadap individu atau kelompok maka akan ditemui persamaan.
       Perubahan yang terjadi tetap pentahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses secara umum. Kerangka proses itu dikemukakan antara lain oleh :
a.       H.Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut :
1)      Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat krisis yang dialami.
2)      Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadiaan baru yang berlawanan dengan struktur lama.
3)      Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
4)      Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
b.      Dr. Zakiah Darajat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu :
1)      Masa tenang
Di saat kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriorio terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tiadak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tenteram.
2)      Masa ketidaktenangan
Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batinnya sehingga mengakibatkan terjadi kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk : rasa gelisah, panik, putus asa, ragu dan bimbang.perasaan seperti ini menyebabkan orang menjadi lebih sensitif dan sugesibel. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
3)      Masa konversi
Tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk Ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertenangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
4)      Masa tenang dan tenteram
Masa tenang dan tenteram yang kedua ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketenteraman pada tahap ketiga ini ditimbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru.
5)      Masa Ekspresi konversi 

Sebagai ungkapan dari sikap menerima terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya tadi, maka tidak tunduk dan sikap hidupnya diseleraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencemaran ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan releven sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.