Pengertian Am dan Khas
Am adalah suatu lafadz yang menghabiskan dan mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Para ulama berbeda pendapat tentang “makna umum” apakah didalam bahasa ia mempunyai sighat (bentuk lafadz) khusus untuk menunjukkannya ataupun tidak.
Mayoritas jumhur ulama berpendapat bahwa di dalam suatu bahasa, memiliki sighat sighat tertentu yang secara hakiki itu dibuat untuk menunjukkan makna umum dan itu diberikan secara majaz pada selainnya. Kemudian untuk mendukung dan memperkuat pendapatnya, mereke mengajukan sejumlah argument atau pendapat dari dalil dalil nassiyah, ijma’iyah dan ma’nawiyah.
Di antara dalil dalil nassiyah ialah Firman Allah :
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَّبَّهُۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحٰكِمِينَ
قَالَ يٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيْرُ صٰلِحٍ ۖ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۖ إِنِّىٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجٰهِلِينَ
Artinya : Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : Ya Tuhan ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar . Dan Engkau adalah Hakim paling adil. Allah berfirman : Hai Nuh sesungguhnya ia tidak termauk keluargamu ( yang dijanjikan akan diselamatkan).” (Q.S Hud {11}:45-46)
Bagian (aspek) yang dijadikan sebagai dalil yang dapat diambil dari ayat iniadalah bahwa Nabi Nuh menghadap kepada Allah dengan mengungkapkan permohonan tersebut dikarenakan dia berpegang terhadap firman Allah surat Al Ankabut ayat 33
وَلَمَّآ أَن جَآءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِىٓءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالُوا۟ لَا تَخَفْ وَلَا تَحْزَنْ ۖ إِنَّا مُنَجُّوكَ وَأَهْلَكَ إِلَّا امْرَأَتَكَ كَانَتْ مِنَ الْغٰبِرِينَ
“ Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu (Al Ankabut [29}:33)
Allah memang membenarkan dengan apa yang telah dikatakan oleh Nabi Nuh, karena itu maka, kemudian Allah menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarganya. Seumpama idafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” (keluargaku,keluarga Nuh) tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.
Kemudian dalam firman yang lain dalam surat Al Ankabut ayat 31-32
وَلَمَّا جَآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرٰهِيمَ بِالْبُشْرَىٰ قَالُوٓا۟ إِنَّا مُهْلِكُوٓا۟ أَهْلِ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ ۖ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا۟ ظٰلِمِينَ
قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا ۚ قَالُوا۟ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَن فِيهَا ۖ لَنُنَجِّيَنَّهُۥ وَأَهْلَهُۥٓ إِلَّا امْرَأَتَهُۥ كَانَتْ مِنَ الْغٰبِرِينَ
“Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan ‘sesungguhnya kami akan menghancurkan negeri Sodom ini, sunggguh penduduknya adalah orang orang yang dzhalim’ berkata Ibrahim: ‘sesungguhnya di kota itu ada Lut.’ Para malaikat itu berkata : Kami lebih mengetahui siapa yang ad di kota itu . Kami sungguh akan menyelamatkan dia dan keluarganya kecuali istrinya, ia adalah termasuk orang orang yang tertinggal (dibinasakan) (Al Ankabut {29} 31-32)
Di dalam ayat ini, aspek yang dijadikan sebagai dalil adalah bahwa Ibrahim faham tentang ucapan para malaikat, ahlu hadzhihil qaryah (penduduk negri ini), maknanya adalah umum, dimana ia menyebutkan Nabi Lut. Para malaikat juga faham ,makanya para malaikat menjawab bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus Lut dan keluarganya, dengan mengecualikanny dari golongan orang orang orang yang dihancurkan dan mengecualikan istri Lut dari orang orang yang diselamatkan. Ini semua menunjukkan makna umum.
Di antara dalil dalil ijma’iyah ialah Ijma (Konsensus) sahabat bahwa firman Allah :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوا۟ كُلَّ وٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ اللَّـهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzinana dan lakin laki yang berzina, maka deralah tiap tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera ( Q. S An Nur [24]:2)
Kemudian firman Allah yang lain
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكٰلًا مِّنَ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan lakin laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (Q.S Al Maidah[5]38)
Dan masih banyak lagi,itu adalah alah satun contoh dari ayat yang bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.
Di antara dalil dalil ma’nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari pengunaan lafaz lafaz syarat,istifham, (pertanyaan) dan mausul.
Kita dapat menemukan adanya perbedaan antara kata kull (seluruh) dengan kata ba’d (sebagian). Dan seandainya kull tidak menunjukkan arti umum, pasti perbedaan utu tidak akan terwujud.
Seumpama ada orang yang berkata dengan pola kalimat nakirah manfi, “Laa rojula fud dhaari” (tidak ada seorangpun di dalam rumah), maka dia dianggap berdusta atau bohong kalau diperkirakan dia melihat seseorang. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al An’am ayat 91
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكٰلًا مِّنَ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Katakanlah siapa yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa Musa? (Al An’am[6]91). Ini semua menunjukkan bahwa nakirah setelah nafyiy adalah makna umum, kalau bukan untuk makna umum, mka ucapan kita ‘Laa ilaaha illallah bukan sebagai kalimat tauhid, karena tidak menunjukkan peniadaan illah selain Allah.ذ
Atas dasar ini, maka makna umum mempunyai sighah sighah tertentu yang menunjukkannya
Kull , pada surat Al An’am ayat 102 searti dengan kull dan jami’.
Lafaz lafaz yang dima’rifatkan dengan al yang bukan al ahdiyah, misalnya pasa Q.S Al Ashr 1-2 dan Q.S Al Baqarah ayat 275 dan Q.S Al Ma’idah ayat 38
Isi nakirah dalam konteks nafiy dan nahi, dan Q.S Al Baqarah ayat 6
Al Latiy dan Al ladzhi serta cabang cabangnya. Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti ini berdasarkan firman sesudahnya dalam sighah jama’.
Semua isim syarat. X
Ismul jins (kata jenis) yang di idafahkan kepada isim ma’rifah, misalnya :
Macam macam Am
Lafadz Am terbagi menjadi tiga macam :
Am yang tetap dalam keumumannya (al-am al baqi ala umumih). Qadi Jalaludin Al Balqini mengatakan , am seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak satu pun lafadz am kecuali d (Q.S An Nisa ayat 176) dan (Q.S. Al Kahfi 49). Am dalam ayat ini tidak mengandung kekhususan.
فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِه ۦ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنكَفُوا۟ وَاسْتَكْبَرُوا۟ فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Am yang dimaksud khusus (al-am al murad bihi al khusus) dalam Q.S Ali Imran ayat 173.
Maksud surat An Nas yang pertama adalah Nu’aim bin Mas’ud sedang An Nas yang kedua adalah Abu sufyan. Kedua lafaz tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulannya ditunjukkan pada ayat sesudahnya “Innamaa dzhalikumus syaithan” sebab syarat dzhalikum hanya menunjukkan kepada satu orang yamh tertentu.
Am yang dikhususkan (al-am al makhsus). Am macam ini banyak ditemukan di dalam Alquran sebagaimana akan dikemukakan dalam surat Al Baqarah ayat 187 dan Q.S Ali Imran ayat 97.
Perbedaan antara al Am al murad bihi al khusus dengan al am al makhsus
Dapat ditemukan dari beberapa aspek,yaitu :
Pertama, tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang telah dicakupkan sejak awal. Baik dari segi cakupn makna lafaz maupun dari hukumnya.
Lafaz tersebut memang memiliki individu individu namun ia dipakai Cuma untuk satu atau lebih indvidu. Sedang yang kedua, dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individu dari segi cakupan makna lafaz,tidak dari segi hukumnya. Maka lafaz An nas dalam firman Allah “Alladzhiina qoola lahumunnaas” meskipun bermakna umum, tetapi tidak dimaksudkan baik secara lafadzh maupun secara hukum, kecuali seorang saja. Lain halnya dengan lafaz umum yang dimaksudkan untuk mencakup satuan satuan yang terjangkau olehnya, meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu diantara mereka secara khusus.
Yang kedua, adalah majaz secara pasti, karena ia telah berpindah dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan satuannya saja. Menurut pendapat yang lebih shahih, adalah hakikah. Inilah pendapat sebagian besar pendapat ulama syafi’i, mayoritas ulama Hanafi dn mayoritas ulama Hambali. Pendapat ini diambil dari Imam Haramain dari semua fuqaha Menurut Abu Hamid Al Ghazali pendapat tersebut adalah pendapat madzhab syafi’i dan murid muridnya dan dianggap shahih oleh As Subki.
Mukhassis Muttasil ada lima macam,yaitu :
Istina (pengecualian) seperti firman Allah : Q.S An Nur ayat 4-5 dan Q.S Al Maidah ayat 33-34
Sifat, misalnya, Q.S An Nisa ayat 23 lafaz al lati dakhaltum bihinna adalah sifat bagi lafaz nisa’ukum. Maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami dan halal bila belum menggaulinya.
Syarat, misalnya : Q.S Al Baqarah ayat 180 dan Q.S An Nur ayat 33
Gayah (batas sesuatu), seperti dalam Q.S Al Baqarah ayat 196 dan Al Baqarah ayat 222
Badal bad min kul (sebagian yang menggantikan keseluruhan). Misalnya, (Q.S Ali Imran 97) lafaz “man istata’a” adalah badal dari “an nas”. Maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Mukhassis munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain, baik ayat, hadis, ijma’ ataupu qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Aquran adalah Q.S Al Baqarah ayat 228, Q.S At Talaq ayat 4, Q.S Al Ahzab ayat 49.
Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat : Al Baqarah ayat 275. Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan binatang yag mengandung, jual beli yang biasa dilakukan oleh orang jahiliyah. Biasanya seseorang membeli seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula. (redaksi hadis ini adalah redaaksi Bukhari). Dan hadis hadis yang lainnya.
Dan dari jenis riba (yang secara umum diharamkan dalam ayat diatas.). didispensasikanlah jual beli ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih di pohon,dengan kurma kering. Jual beli ini diperkenankan mubah oleh sunnah.
Dalam hadis nabi
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw memberikan keringanan untuk jual ariyah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq (Mutafaqun alaihi)
Contoh am yang ditakhsis oleh ijma’ adalah ayat kewarisan Q.S An Nisa ayat 11 berdasarkan ijma’, budak tidak mendapatkan warisan karena budak sifatnya merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan yang ditakhsis oleh qiyas ayat tentang zina Q.S An Nur ayat 2. Budak laki laki ditakhsis (dikeluarkan dari ketentuan umum ayat ini) karena diqiyaskan p-ada budak perempuan yang penakhsisannya ditegaskan dalam ayat Q.S An Nisa ayat 25.
Takhsis sunnah dengan Alqur’an
Terkadang ayat alqur’an mentakhsis, membatasi keumuman sunnah. Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu waqid al Laisi . ia menjelaskan Nabi berkata
: م قطع من البهىمت و هى هيت فهو ميت
“ Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai “
Hadis itu ditakhsis oleh ayat Q.S An Nahl ayat 80
“ Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai watu tertentu. (Q.S An Nahl[16]80)
Sah berhujjah dengan Amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya
Para ulama berbeda pandangan mengenai sah tidaknya berhujjag dengan menggunakan lafaz amm sesudsh ditakhsis, terhadap sisanya, pendapat yang dipilih oleh para ahli ilmu mengungkapkan bahwa sah berhujjah dengan Amm terhadap apa apa yang termasuk dalam ruang lingkupnya yang di luar kategori yang dikhususkan. Mereka mengemukakan argumentai berupa ijma’ dan dalil aqli.
Salah satu dalil ijma adalah bahwa Fatimah r.a menuntut kepada khalifah Abu Bakar tentang hak waris dari ayahnya menggunakan dasar keumuman ayat( Q.S An Nisa ayat 11.). makna ayat ini telah ditakhsis dengan orang kafir dan orang yang membunuh. Namun tidak ada seorangpun sahabat yang mengingkari keaslian dan kabsahan hujjah Fatimah, padahal apa yang dialkukan oleh Fatimah sudah jelas dan msyhur, karena hal yang demikian dipandang sebagai ijma’ . oleh karena itu dalam brhujjah bagi ketidakberolehannya Fatimah akan hak waris Abu Bakar beralih hujjah kepada sabda Nabi saw.
H.R asyakhan
“ Kami para Nabi tidak mewariskan. Apa yang kmi tinggalkan menjadi sedekah.
Di antara dalil aqli ialah bahwa lafaz amm sebelum di takhsis merupaka suatu hujjah bagi setiap satuan (makna yang tercakup dalam ruang lingkupnya) menurut ijma para ulama. Dan pada hakikatnya, keadaan sebelum ditakhsis tetap berlaku setelah ada takhsis, kecuali apabila terdapat dalil yang mengungkapkan sebaliknya. Dan dalam hal ini, tidak ada dalil yang demikian. Oleh karena itu, amm sesudah ditakhsis tetap menjadi hujjah bagi sisanya.
Cakupan Khitab
Para ulama berbeda pandangan mengenai khitab (seruan) yang ditujukan secara khusus kepada Nabi saw seperti Q.S Al Ahzab ayat 1 dan Q.S Al Ma’idah ayat 41. Apakah khitab ini mencakup seluruh umat ataukah tidak.
Salah satu golongan ulama berpendapatb bahwa mencakup seluruh umat karena Rasulullh saw sendiri seorang teladan (qudwah) mereka.
Golongan yang lain berpendapat tidak mencakup mereka, karena sighatnya menunjukkan kekhususannya bagi Rasulullah saw.
Selain itu, mereka juga tidak sependapat tentang khitab Allah dengan “yaa ayyuhan nas’ dalam Q.S An Nisa ayat 1. Apakah ia mencakup Rasulullah atau tidak? Menurut pendapat yang shahih, khittab tersebut mencakup Rasululllah juga mengingat maknanya yang umum, meskipun khitab itu sendiri datang melalui lisannya untuk disampaikan kepada orang lain (umat).
Sementara itu, ulama yang lain memberikan garis pemisah jika disertai kata “qul (katakanlah)” maka ia tidak mencakup Rasul, karena secara lahir, khitab tersebut untuk disampaikan. Contohnya q.s Al A’raf ayat 158. Dan apabila tidak disertai dengan “qul” maka itu mencakup Rasulullah.
Demikian juga terjadi perbedan pendapat tentang khitab yang ditujukan kepada “manusia” atau kepada “orang orang mu’min”. Misalnya, Q.S Al Hujurat ayat 13 da Q.S Al Ma’idah ayat 90.
Menurut pendapat terpilih, kitb jenis pertama, mencakup pula (diamping orang mu’min) orang kafir, hamba sahaya, dan perempuan. Sedangkan khitab jenis yang kedua Cuma mencakup dua golongan terakhir disamping orang orang mukmim laki laki pastinya. Hal ini mengingat karena hukum islam itu dibebankan kepada orang orang mukmin, sedangkan keluarnya hamba sahaya dari sebagian hukum seperti kewajiban tentang haji,kewajiban tentang jihad, dikarnakan oleh hal yang lain yang sifatnya relatif, seperti kemiskinan dan kesibukannya mealayani majikannya.
Apabila pada objek khitab terdapat laki laki (muzakkar) yang terkumpul dan perempun (mu’annas), maka biasanya khitab itu memakai bentuk muzakkar. Memang kebanyakan kitab Allah dalam Alqur’an memang berbentuk lafal muzakkar, meskipun demikian, perempuan juga mauk di dalamnya. Selain itu, kadang juga “perempuan” disebutkan secara khusus untuk maksud lebih memperjelas dan terang. Tetap hal ini tidak menghalangi sama sekali masuknya perempuan dalam cakupan lafaz umum,yang pantas bagi mereka. Seperti dalam firman Allah Q.S An Nisa ayat 124.